Memperingati hari ulang tahun ke 17 Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI) Kota Salatiga meminta adanya kesetaraan. Yaitu kesetaraan dengan pendidikan formal.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua HIMPAUDI Kota Salatiga Siti Sundari. Sebab sampai saat ini pendidikan PAUD masih dianggap pendidikan non formal. Akibatnya pendidik di PAUD tidak disebut guru. Berimbas pada hak-hak yang tidak bisa didapatkan oleh guru PAUD.
“Pendidik yang disebut guru adalah pendidik yang mengajar formal. Sedangkan kami tidak di sekolah formal. Sehingga kami tidak dianggap sebagai guru. Ini berimplikasi undang-undang guru dan dosen hak-yang menyatakan hak-hak guru yang disana. Diantaranya sertifikasi dan hal-hal lain,” jelasnya Sundari.
Diharapakan dengan kegiatan ulang tahun ini bisa membuka mata masyarakat bahwa guru PAUD setara dengan pendidikan formal di Salatiga khususnya dan umumnya di Indonesia. Selain itu, mewakili rekan sejawat Sundari ingin adanya revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Utamanya tidak ada pengkategorian guru formal dan non formal. Sekedar informasi saat ini guru PAUD non formal di Salatiga ada 435 orang dari 123 lembaga pendidikan.
Hal senada diungkapkan oleh Kepala Sekolah KB Margi Rahayu, Sidomukti Abetnigo Sarwo Edy, ia berharap ada kesetaraan dan penghargaan yang sama dengan guru formal. Sebab dirinya sudah bersusah payah mendidik anak-anak, namun tidak ada kesetaraan.
“Kasian dari yayasan tidak ada gaji. Jadi setiap bulan mengajar tanpa gaji. Hanya menggunakan dana bos yang cukup untuk peralatan,” ungkap satu-satunya pria yang mengajar di PAUD di Kecamatan Sidomukti.
Selain soal gaji yang diinginkan Albetnigo, PAUD juga harus dimasukan sebagai pendidikan formal. Sebab semua hal mengikuti aturan dari dinas. Mulai kurikulum sampai jam masuk sekolah. Momentum 17 tahun ini ia berharap ada perbaikan nasib sebagai guru PAUD.
Abetnego mengaku sudah 10 tahun menjadi guru PAUD. Menjadi guru PAUD, sebagai laki-laki menjadi pilihan. Ia tidak merasa malu di tengah stigma masyarakat kalau guru PAUD adalah perempuan. Ia ingin mendidik anak-anak, karena memang sudah menjadi tugasnya. Saat ini guru PAUD laki-laki kata Abetnigo sangat sedikit jumlahnya. Padahal tidak semua kegiatan bisa dilakukan oleh perempuan. Ia mengajak laki-laki jika bersedia untuk turut membantu menjadi guru PAUD.
“Justru itulah mari laki-laki yang bersedia membantu melaksanakan kegiatan untuk anak-anak kita dorong. Memang terbatas sekali, di Sidomukti hanya satu,” tandasnya.