UNGARAN – Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyebut kenaikan harga komoditas telur ayam yang ada di masyarakat saat ini masih wajar. Meski menyentuh Rp 32ribu per kilogram, harga itu merupakan harga keseimbangan baru.
Hal itu mengemuka saat acara Rembug Perunggasan Nasional dengan tema Mensinergikan Semua Lini Perunggasan dari Hulu ke Hilir yang digelar Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Jawa Tengah di Ungaran baru-baru ini.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengungkapkan seharusnya masyarakat bisa memahami kenaikan harga tersebut. Menurutnya, akan lebih sulit lagi pada saat para peternak tidak mau memproduksi.
“Sekarang coba kita lihat. Biaya sewa lahan peternak naik atau tidak, harga pakan naik atau tidak. Makanya nomor satu itu adalah keseimbangan biaya produksi demi ketersediaan, berikutnya baru bicara soal harga,” terangnya.
Arief membeberkan, beberapa komponen produksi yang mengalami kenaikan harga dengan adanya lonjakan harga komoditas adalah sesuatu yang sesuai hukum sebab-akibat.
“Mau harganya tinggi pun kalau stok tidak ada ya susah. Hari ini, kalau bicara ketersediaan di Indonesia semua pangannya cukup, termasuk telur. Artinya ini menjadi keberhasilan bersama- sama semua komponen bangsa ini. Kalau kemudian harga telur ayam menjadi tinggi, itu karena variable costnya memang meningkat,” ujarnya.
Ketua Pinsar Nasional Singgih Januratmoko menyampaikan, saat ini produksi telur ayam di skala nasional juga berkurang sebanyak 30 persen. Karena memang satu setengah tahun yang lalu harganya jatuh akibat pandemi sehingga para peternak mandiri yang kecil- kecil berkurang populasinya. Menurutnya produksi telur ayam nasional saat ini mencapai sekitar 270.000 ton per hari. Kendalanya memang di harga sarana produksi peternakan (sapronak) yang juga tinggi.
“Selama pandemi kemarin, harga telur selalu berada di bawah harga produksi. Otomatis peternak mengurangi populasi ayam 20 – 30 persen. Maka saat ini sedang menuju keseimbangan baru,” jelasnya.
Saat ini peternak sedang menata kembali untuk bertahan dan hidup kembali. Maka mengapa harga telur naik karena memang populasi berkurang dan biaya sapronaknya juga terus naik.
“Jadi kalau menjual Rp 22.000 ataupun 25.000 per kilogram dari kandang pun, tentu berat bagi peternak. Paling tidak butuh waktu satu setengah tahun untuk mengembalikan populasi semula dengan modal yang ada sekarang,” pungkasnya. (win)