RASIKAFM.COM | UNGARAN - Harga komoditas telur ayam di pasaran mengalami kenaikan tajam. Pantauan di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Semarang pada Jumat (19/5/2023), harga telur mencapai Rp31.000 per kilogram.
Menanggapi hal ini, salah seorang peternak ayam di Dusun Gebug, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Galih Aji Sadewo (31) mengungkapkan, fluktuasi harga telur ayam merupakan sesuatu yang lumrah terjadi. Akan tetapi, pada momen pasca lebaran ini diakuinya kenaikan yang terjadi cukup tajam.
“Penyebabnya lebih karena peremajaan ayam, karena banyak yang afkir atau produksinya yang sudah jauh menurun,” ujarnya ditemui di lokasi kandang ayamnya, Jumat (19/5/2023).
Akibat peremajaan tersebut, kata Aji, produksi telur ayam tidak bisa maksimal. Ia mencontohkan ayam yang dipeliharanya saat ini berjumlah 2.000 ekor, sedangkan yang dilakukan peremajaan sekitar 1.300 ekor. Produksi normal sebelum peremajaan, dalam satu hari bisa menghasilkan 10 peti telur yang masing-masing peti berisi 10 kilogram.
“Akan tetapi saat dilakukan peremajaan, bisa turun menjadi 7 peti. Sementara proses peremajaan membutuhkan waktu lebih kurang 5 bulan, baru kemudian ayam bisa berproduksi,” ungkapnya.
Faktor lain yang menurutnya turut mempengaruhi kenaikan harga telur adalah harga pakan yang cukup tinggi. Diakuinya, harga pakan cenderung mengalami kenaikan secara periodik, sementara hal itu tidak berlaku bagi harga telur.
“Selama ini harga pakan tidak pernah turun, sedangkan harga telur fluktuatif. Ini yang bikin peternak susah juga. Saat harga jagung turun, harga pakan tidak turun. Sementara kami harus memberi pakan ayam setiap hari, otomatis biaya produksi membengkak,” terangnya.
Sementara Ketua Perhimpunan Perunggasan Indonesia (Pinsar) Jateng Parjuni mengatakan sebenarnya kenaikan harga telur ayam ini sudah diprediksi dari akhir tahun lalu. Menurutnya ada beberapa faktor yang mempengaruhi.
“Yang pertama bahwa saat ini posisi populasi ayam di tingkat peternak menurun karena efek pandemi 2 tahun lalu. Sehingga mau tidak mau peternak harus mengurangi jumlah populasinya. Bibit yang dulu harganya Rp15ribu per ekor sekarang turunpun tidak ada yang melakukan peremajaan,” jelasnya.
Faktor yang kedua adalah kondisi pakan ternak, dimana feedmill (produsen pakan) justru menaikkan harga. Hal itu berkebalikan dengan harga bahan pakan berupa jagung yang justru mengalami penurunan dari Rp6.000 menjadi Rp4.000 pada bulan ini.
“Tapi begitu harga jagung naik, harga pakan juga ikut naik. Ini memberatkan peternak,” paparnya.
Faktor yang terakhir adalah cuaca ekstrem akhir-akhir ini. Dimana dalam sehari cerah, tiba-tiba sore hari hingga malam diguyur hujan lebat.
“Sehingga ayam tidak bisa berproduksi secara maksimal, akibatnya suplai mengalami kekurangan dan harga di tingkat konsumen mengalami kenaikan,” urainya.
Menyikapi hal itu pihaknya telah menyampaikan kepada Badan Pangan Nasional (Bapanas) agar produsen pakan dapat menurunkan harga pakan.
“Produsen pakan gantian yang mengalah. Secara logika, mereka dapat untung dari peternak. Kalau peternak banyak yang kolaps akibat tak mampu beli pakan, mereka juga yang terdampak,” tandasnya. (win)