Kepala Densus 88/Antiteror Polri, Irjen Pol Marthinus Hukom, menghadiri dan menjadi pembicara dalam kuliah umum kebangsaan di Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Kota Semarang pada Senin (20/3/2023) bertema Bahaya Virus Propaganda Radikalisme Terorisme. Kegiatan tersebut dihadiri oleh Rektor Unika, Dr Ferdinandus Hindiadto, serta mantan narapidana terorisme (Napiter), Munir Kartono dan Hadi Masykur.
Irjen Marthinus Hukom juga didampingi oleh para jenderal di Densus 88, yaitu Direktur Penindakan Brigjen Pol Suseno Nurhandoko, Direktur Identifikasi Sosialiasi (Idensos) Brigjen Pol Arif Makhfudiharto, dan Direktur Pencegahan Brigjen Pol Tubagus Ami Prindani. Tim dari Satuan Tugas Wilayah (Satgaswil) Jawa Tengah Densus 88 yang dipimpin oleh Kanit Idensos AKBP Bambang Prasetyanto turut hadir.
Dalam paparannya, Irjen Marthinus menyebutkan bahwa kelompok teroris sering memanfaatkan sistem algoritma di media sosial untuk menyebarkan propaganda dan menentukan sasaran empuk untuk merekrut anggota. Oleh karena itu, dibutuhkan ekokamar atau ruang gema untuk menetralisir propaganda radikal teror di media sosial.
Dalam konteks ini, mahasiswa dianggap sebagai agen yang pas untuk membanjiri media sosial dengan konten-konten positif sebagai kontra narasi radikalisme terorisme.
“Ini sebagai cara untuk merawat kebinekaan yang ada di Indonesia, agar bangsa dan negara ini tetap kuat dan utuh,” ujarnya di acara bertema Bahaya Virus Propaganda Radikalisme Terorisme di Media Sosial, Senin (20/3/2023).
“Ini adalah cerdasnya ISIS memanfaatkan medsos, terutama Facebook dan Twitter dipakai untuk merekrut target-target yang rentan. Medsos adalah ‘alat perang’ di era kemajuan informasi teknologi, jangan sampai kita bisa hindari perang tradisional, tetapi perang medsos tidak bisa kita hindari,” terangnya.
Lebih lanjut, Indonesia hadir dalam bentuk keberagamaan dan datang dari berbagai perbedaan. Dia menilai, para pendiri bangsa ini bahkan memberikan landasan filosofi, yang menjadikan negara Indonesia tetap utuh.
“Sebetulnya radikalisme itu ada dalam agama apapun, tidak hanya terkait dengan satu agama tertentu,” tuturnya.
Menurutnya, propaganda radikalisme terorisme bukan hanya alat atau monopoli satu aliran tertentu. Paham teroris bisa muncul dalam banyak aliran atau agama.
“Bahkan, bisa menimpa kepada individu yang tidak beragama sekalipun,” katanya.
Sementara itu, Rektor Unika, Dr Ferdinandus Hindiarto menyatakan, kampusnya senantiasa mengajarkan nilai-nilai ke-Indonesia-an. Adapun terkait toleransi, pihaknya sudah selesai dengan hal tersebut.
“Implementasi dari nilai-nilai toleransi sudah sepenuhnya dijalankan oleh seluruh civitas akademika. Kami menggembleng generasi muda yang menguasai ilmu pengetahuan di bidangnya dengan kedewasaan moral dan kepribadian. Sehingga akan berani mengambil peran pemimpin di manapun mereka berkarya,” bebernya.
Sedangkan mantan Napiter, Hadi Masykur menceritakan, dirinya aktif di organisasi lamanya selama 20 tahun, sebelum akhirnya ditangkap oleh tim Densus 88/Antiteror Polri. Selama itu pula, ia mengaku tidak memiliki waktu berkumpul dengan keluarganya.
Dirinya berangkat dari kelompok Neo Jamaah Islamiyah (JI) sementara Munir dari kelompok JAD. Pikirannya menjadi terbuka ketika disadarkan melalui pesan dari sang ibu.
Pendekatan dari ibunya membuat ia sadar akan langkah dan cara pandangnya selama ini tidaklah benar. “Saya berpesan pada mahasiswa untuk memberikan ruang toleransi diri kita atas apa yang dilakukan orang lain, sehingga tidak muncul anggapan diri kita yang paling benar, yang lain salah,” jelasnya.
Senada, Munir Kartono juga mengemukakan seorang teroris tidak bisa dilihat hanya dari ciri-ciri fisik yang terlihat, seperti gaya rambut hingga cara berpakaian.
Hal itu ia ungkapkan karena pernah terlibat pendanaan ISIS dan orang dekat pentolan ISIS Bahrunnaim hingga memanfaatkan internet dan media sosial untuk menggalang pendanaan. Salah satu keterlibatannya, menyiapkan pendanaan bagi pengeboman di Mapolresta Surakarta Juli 2016 silam.
“Kami pembuat propaganda media sosial menyasar anak muda dan orang tua yang mempunyai semangat keagamaan. Kita mencari titik lemahnya dan apa yang mereka sukai,” imbuhnya.