Dalam sejarahnya, kata Candra, Kampung Batik Semarang saat itu jadi bagian dalam siasat pertempuran lima hari Semarang.
Jepang yang mengawasi kegiatan di Kampung Batik dari Gereja Gedangan, lalu menyerbu dan membakar rumah-rumah di Kampung Batik.
Jepang menembaki rumah warga hingga tembus pintu-pintu lalu membakar sekitar 200 an rumah.
Dua saksi bisu sejarah 76 tahun yang lalu itu masih ada, yakni pintu yang tertembus peluru dan sumur yang masih ada dan dimanfaatkan hingga sekarang.
“Ini mengingat sejarah dan kebangkitan paska kebakaran sehingga bisa melaksanakan kembali sehari-hari,” katanya.
Rencananya, tradisi Titiran akan jadi agenda tahunan sebagai potensi wisata kegiatan seni yang dibuat.
“Dulu sederhana hanya berdoa bersama, kali ini dibuat kreasi ada unsur seni agar lebih menarik dilihat dan ditonton,” katanya.
Sementara itu, Wakil Walikota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu sangat mendukung adanya tradisi Titiran.
Mbak Ita sapaan wakil walikota, mengaku baru tahu ada sejarah cerita tradisi Titiran ini.
“Ini bagus sekali, karena saling berkait dengan yang di Tugu Muda dan sekitar ini, ada gereja Gedangan juga,” katanya.
Atraksi seni budaya ini tentunya akan menambah daya tarik wisata Kampung Batik Semarang di Kampung Jadoel ini.
Kedepan, pihaknya akan memfasilitasi adanya lapangan parkir yang representatif dengan memanfatakan bekas lahan SMP 4 Semarang.
“Kalau wisatawan ini datang akan menjadikan masyarakat di kampung jadoel lebih sejahtera,” katanya.**