RASIKAFM.COM | UNGARAN – Pesantren kini tidak lagi cukup dikenal sebagai lembaga tradisional pengajian kitab kuning semata. Di tengah perubahan sosial dan teknologi yang cepat, pesantren dituntut melakukan transformasi menyeluruh, baik dalam tata kelola, manajemen, maupun cara berkomunikasi dengan publik.
Gagasan ini mengemuka dalam Halaqah Pengasuh Pondok Pesantren se-Jawa Tengah yang digelar Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PWNU Jawa Tengah di Gedung PGRI Kompleks GOR Pandanaran, Wujil, Bergas, Kabupaten Semarang, Jumat (24/10/2025). Kegiatan tersebut mengusung tema “Pesantren Transformatif: Meneguhkan Peran, Merespon Perubahan.”
Ketua PWNU Jateng, KH Abdul Ghaffar Rozin, menegaskan bahwa transformasi tidak boleh hanya datang dari kebijakan negara, tetapi harus dimulai dari kesadaran internal pesantren.
“Sekarang ini banyak aturan baru dari negara soal pesantren, mulai dari struktur kelembagaan hingga kebijakan Dirjen Pesantren. Tapi pesantren tidak boleh hanya menunggu. Harus mengambil inisiatif sendiri untuk bertransformasi,” ujarnya.
Menurutnya, perubahan itu meliputi banyak hal, mulai dari pengelolaan fasilitas, kebersihan lingkungan, hingga kesadaran terhadap isu-isu sosial modern seperti pencegahan perundungan.
“Kalau dulu cukup fokus di ngaji, sekarang pesantren juga harus memastikan santri hidup di lingkungan yang sehat, bersih, dan aman. Itu bagian dari transformasi,” imbuhnya.
Gus Rozin (sapaan akrabnya) juga menyoroti pentingnya pesantren membuka diri kepada publik. Saat ini, di Jawa Tengah terdapat lebih dari 4.400 pesantren dengan sekitar 900 ribu santri. Namun, sebagian besar belum memanfaatkan media untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat luas.
“Masih banyak pesantren yang asyik dengan dunianya sendiri. Padahal publik perlu mengenal pesantren secara utuh agar tidak salah paham. Misalnya kerja bakti di pesantren kadang disalahartikan sebagai perbudakan. Ini terjadi karena kurangnya komunikasi,” jelasnya.
Ia menambahkan, antusiasme masyarakat untuk memondokkan anaknya memang masih tinggi, namun tahun ini terjadi penurunan sekitar 10 persen di 36 PCNU. Faktor utamanya, menurutnya, karena menurunnya jumlah usia sekolah. Untuk itu, RMI PWNU menyiapkan berbagai program agar pesantren semakin diminati.
“Sekarang standar wali santri berubah. Mereka tidak hanya mencari ilmu agama, tapi juga menanyakan fasilitas, kebersihan, bahkan menu makan. Ini tantangan baru bagi pesantren agar lebih profesional dalam pengelolaan,” katanya.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah, Saiful Mujab, yang turut hadir dalam acara tersebut, menyebut tema “Pesantren Transformatif” sangat relevan dengan kondisi kekinian.
“Negara sudah menunjukkan keberpihakan kepada pesantren, salah satunya dengan menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Tapi keberpihakan itu harus diimbangi dengan kesiapan pesantren menghadapi perubahan,” ujarnya.
Menurutnya pesantren harus meneguhkan peran klasiknya sebagai lembaga tafaqquh fiddin, sekaligus beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
“Meneguhkan peran dan merespons perubahan harus seimbang. Kalau hanya salah satu yang dikuatkan, langkah pesantren bisa pincang,” ucapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya literasi digital bagi santri. Pesantren memiliki banyak hal baik yang belum tersiar luas karena belum aktif di media.
“Santri harus melek IT dan mampu mengisi ruang digital dengan nilai-nilai positif pesantren,” sambungnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pendidikan Diniyah Formal se-Indonesia (ASPENDIF), KH Ahmad Fadluloh Turmudzi (Gus Fadluloh) mengingatkan agar pesantren tidak kehilangan jati dirinya dalam proses transformasi.
“Pesantren transformatif bukan berarti meninggalkan tradisi. Justru harus memperkuat tiga fungsinya sebagaimana diamanatkan UU Nomor 18 Tahun 2019: pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat,” katanya.
Ia menilai, banyak pesantren NU yang unggul dalam kualitas pendidikan dan pemberdayaan, namun belum dikenal luas karena kurang aktif mempublikasikan diri.
“Masyarakat cenderung mengenal pesantren yang rajin tampil di media, padahal banyak pesantren NU yang jauh lebih baik tapi belum terekspos,” ujarnya.
Gus Fadluloh juga menegaskan pentingnya sinergi antar-pesantren untuk saling belajar dan berbagi praktik baik.
“Setiap pesantren punya kekhasan, ada yang kuat di Al-Qur’an, fiqih, atau ilmu falak. Semua harus saling melengkapi agar wajah pesantren Indonesia makin kuat di mata masyarakat,” pungkasnya. (win)