SEMARANG – Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, KH Ubaidullah Shodaqoh, menegaskan bahwa peringatan Hari Santri bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan momentum monumental untuk mengenang peran besar santri dan para kiai dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Hal itu ia sampaikan saat memberikan buka acara Ngaji Bandongan dan Ijazah Kubro saat puncak resepsi perayaan Hari Santri 2025 di Stadion Pandanaran, Wujil, Bergas, Kabupaten Semarang, Kamis malam (23/10/2025).
Menurutnya, Hari Santri menjadi pengakuan nasional bahwa santri memiliki sejarah panjang dan jasa besar dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Santri dan para kiai memiliki saham yang besar atas berdirinya negara ini. Terutama pada tanggal 22 Oktober, ketika Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dengan tegas mengeluarkan fatwa jihad melawan penjajah,” ungkapnya.
Kiai Ubaid menegaskan, tanpa fatwa Resolusi Jihad dari pendiri Nahdlatul Ulama itu, tidak akan ada peristiwa heroik 10 November di Surabaya.
“Kalau tidak ada perang 10 November, mungkin eksistensi negara yang baru berumur tiga bulan itu tidak akan diakui oleh dunia internasional,” ujar pengasuh pesantren Al Itqon, Bugen Semarang ini.
Ia menjelaskan, fatwa jihad yang dikeluarkan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari memantik semangat perjuangan para santri dan ulama untuk mempertahankan kemerdekaan. Ribuan syuhada gugur sebagai bukti bahwa proklamasi 17 Agustus 1945 bukan sekadar pernyataan kosong, melainkan disokong penuh oleh kekuatan rakyat, terutama kalangan santri.
“Ketika Indonesia sudah merdeka, ilmu-ilmu dari pesantren menjadi pedoman hidup di tengah masyarakat. Sejarah mencatat peran santri yang nyata, meski sempat terlupakan pada masa Orde Baru. Alhamdulillah, perjuangan menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri juga diperjuangkan oleh tokoh-tokoh NU, termasuk KH Abdul Ghaffar Rozin,” tambahnya.
Kiai Ubaid mengajak seluruh warga nahdliyin untuk mensyukuri dan menjaga warisan perjuangan para kiai dan santri.
“Mari kita hidupkan kembali semangat pesantren, pendidikan ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah, dan meneruskan cita-cita para kiai pendiri NU,” pesannya.
Sementara itu, Rais ‘Aly Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN), KH Ahmad Chalwani Nawawi, menambahkan bahwa para santri merupakan kelompok yang paling berani menentang penjajahan. Ia menuturkan, bahkan seorang profesor asal Belanda, Martin van Bruinessen, pernah menyebut ketika isi acara di Universitas Gadjah Mada bahwa yang paling ditakuti Belanda adalah para santri yang juga pengamal Tarekat.
“Contohnya Raden Mas Ontowiryo atau yang dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro, seorang santri sekaligus pengamal Tarekat yang menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah,” terang Kiai Chalwani.
Ia menegaskan, keberanian dan keteguhan spiritual santri itulah yang menjadikan mereka tulang punggung perjuangan bangsa.
“Maka, Hari Santri adalah momentum untuk mengingat kembali bahwa kekuatan spiritual dan keilmuan pesantren adalah fondasi tegaknya negeri ini,” pungkasnya. (did)