UNGARAN – Sepanjang tahun 2021, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Semarang mencatat sebanyak 145 laporan tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan. Jumlah itu terdiri dari 18 korban anak laki-laki, 27 anak perempuan, dan 101 perempuan dewasa.
Sedangkan pada semester I tahun 2022 ini mencatat sudah ada 40 laporan kekerasan yang masuk terdiri dari korban 1 anak laki-laki , 11 anak perempuan dan 28 perempuan dewasa. Jumlah itu menurut Kepala DP3AKB Kabupaten Semarang masih belum terlalu signifikan sebab ada beberapa kendala yang membuat para korban enggan melapor.
“Salah satunya adalah regulasi perlindungan untuk saksi dan korban. Sehingga mau lapor kok ‘isin’, nggak lapor kok ya jadi korban,” ujarnya dalam acara Focus Group Discussion (FGD) “Tumbuh Kembang Anak Tanpa Kekerasan” Forum Komunikasi Wartawan Kabupaten Semarang (FKWKS) bersama Disdikbudpora dan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Negeri Kabupaten Semarang di aula SMPN 2 Ungaran, Rabu (10/8/2022).
Selain itu, kata Dewi, di Kabupaten Semarang juga belum memiliki shelter (penitipan) bagi anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan. Sehingga belum ada tempat yang benar- benar aman, bagi anak maupun perempuan yang menjadi korban kekerasan. Kemudian hal lain yang masih harus didorong adalah masih terjadinya kekerasan di lingkungan pendidikan. Dalam hal ini Kepala sekolah dan guru harus menjadi suri tauladan yang baik bagi peserta didik ketika berada di lingkungan sekolah.
“Sehingga para ‘punggawa’ pendidikan ini bisa menciptakan pola pengasuhan anak yang ramah dan tanpa kekerasan di sekolah. Harapannya, anak benar- benar nyaman dan aman saat berada di lingkungan belajarnya,” imbuhnya.
Sementara Kepala Disdikbudpora Kabupaten Semarang, Sukaton Purtomo menekankan pencegahan berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Bahkan juga berbagai tindakan perundungan dan sejenisnya. Maka berbagai ketentuan serta tata tertib penyelenggaraan pendidikan harus dipatuhi.
“Jika semua elemen yang ada di linkungan pendidikan mampu melaksanakan dengan baik, maka kekerasan atau tindakan lain yang merugikan anak di sekolah tidak akan terjadi,” ungkapnya.
Selain mematuhi seluruh ketentuan tersebut, ia juga berpesan bahwa terdapat sejumlah sanksi yang mengikat bagi pelaku perundungan, khususnya guru dan tenaga pendidik di lingkungan sekolah. Mulai dari sanksi paling ringan berupa teguran hingga sanksi paling berat.
“Bisa berupa teguran lisan/ tertulis hingga pemberhentian sementara/tetap dari jabatan tenaga kependidikan. Sedangkan bagi satuan pendidikannya bisa terancam sanksi penutupan,” tegasnya. (win)