Pernyataan Menteri Perhubungan dalam acara diskusi bersama awak media pada Kamis, 26 Juni 2025 yang diselenggarakan oleh Kementerian Perhubungan mengenai penanganan kendaraan over dimension over load (ODOL), tentunya menimbulkan keprihatinan mendalam bagi kalangan pelaku usaha angkutan barang di seluruh Indonesia. Ungkapan bahwa tidak akan ada peraturan atau aturan baru dalam penindakan kendaraan ODOL justru memperlihatkan bahwa pemerintah belum memiliki keseriusan dan kesiapan dalam menata ulang kebijakan yang selama ini menuai kritik tajam.
Pengulangan narasi yang menyalahkan masa lalu, dengan menyebut penanganan ODOL pada periode 2017–2023 sebagai kegagalan tanpa disertai upaya korektif yang konstruktif, merupakan langkah mundur dalam penyusunan kebijakan publik. Keputusan untuk tidak mengeluarkan regulasi baru berarti tidak ada pembaruan pendekatan, tidak ada skema penyelesaian, dan tidak ada roadmap transformasi yang bisa menjadi pegangan bagi pelaku usaha maupun pengemudi di lapangan.
Ketiadaan solusi dalam pernyataan tersebut mencerminkan lemahnya pemahaman Menteri Perhubungan terhadap ekosistem logistik nasional, khususnya dunia usaha angkutan barang yang selama ini berkontribusi besar terhadap pergerakan roda ekonomi. Seharusnya, seorang pejabat negara menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang solutif, adil, dan berpihak pada penyelesaian akar masalah, bukan sekadar mengulang wacana keselamatan tanpa menawarkan jalan keluar yang nyata dan operasional.
Pernyataan Menhub yang demikian justru berpotensi menimbulkan resistensi di lapangan, terutama dari para sopir truk yang merupakan garda terdepan logistik nasional. Ketika negara tidak memberikan arah kebijakan yang pasti dan tidak menawarkan solusi alternatif atas kondisi di lapangan, maka muncul kekosongan keadilan yang dapat memicu reaksi sosial, termasuk demonstrasi yang pada akhirnya berdampak langsung terhadap kelancaran distribusi barang dan kestabilan harga kebutuhan pokok masyarakat.
Dalam konteks tersebut, seharusnya Presiden Prabowo Soebianto perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Menteri Perhubungan. Ketika seorang menteri tidak mampu menjawab tantangan kebijakan yang kompleks dengan pendekatan strategis dan berimbang, maka dikhawatirkan akan menciptakan ketegangan sosial berkepanjangan yang merugikan stabilitas nasional dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Sudah saatnya pemerintah berhenti menggunakan narasi tunggal tentang keselamatan, karena keselamatan sejati tidak hanya dapat diwujudkan melalui razia dan penindakan semata. Keselamatan yang berkelanjutan lahir dari sistem yang adil, transparan, dan responsif terhadap dinamika usaha. Tanpa solusi yang holistik dan implementatif, maka narasi keselamatan yang disampaikan hanya akan dianggap sebagai pembenaran atas kebijakan yang tidak berpihak pada realitas di lapangan.
Kepada seluruh komunitas sopir dan pelaku usaha yang selama ini berjuang menyuarakan keadilan dalam kebijakan ODOL, penting untuk memahami bahwa pernyataan Menhub kali ini menunjukkan ketiadaan solusi nyata. Tidak ada regulasi baru, tidak ada program amnesti, tidak ada pola insentif maupun dukungan terhadap pelaku usaha yang terdampak.
Perjuangan belum selesai. Semangat untuk mengkritisi kebijakan ODOL harus tetap dijaga dalam koridor yang damai, terorganisir, dan berdasarkan fakta lapangan. Suara kolektif yang disuarakan secara elegan dan tegas merupakan kekuatan moral dalam mendorong perubahan kebijakan agar lebih adil, transparan, dan berpihak pada keberlangsungan industri angkutan barang nasional. (hrs-wd)