UNGARAN – Kasus tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum guru di sebuah SD negeri di Ungaran, Kabupaten Semarang terhadap anak didiknya beberapa waktu lalu mengundang keprihatinan berbagai pihak. Terutama orang tua yang putrinya saat ini mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Mereka khawatir jika anaknya menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh gurunya.
Perasaan was-was tersebut tidak hanya meliputi para orang tua, melainkan di kalangan guru juga merasakan keresahan yang sama. Sebab selain bisa mencoreng nama baik profesi, juga bisa merusak kesehatan mental anak didik yang menjadi korban.
“Tentu yang pertama kami ikut prihatin atas nama sesama profesi guru. Oleh karena itu kami tekankan pentingnya berhati-hati jika mendampingi anak didik,” ungkap Kepala SMPN 3 Ungaran Sarbun Hadi Sugiarto usai membuka kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) Tahun Ajaran 2022/2023, Senin (11/7/2022).
Menurut Sarbun, sebagai seorang guru sudah seharusnya menjunjung tinggi etika profesi, terutama mengenai bagaimana menjalin hubungan antara guru dengan anak didik terutama yang berlawanan jenis. Setiap briefing sebelum mengajar, pihaknya selalu menyampaikan kepada para guru untuk berhati-hati dalam mendampingi anak didik.
“Diakui atau tidak, terkadang batas antara guru dengan muridnya ini tipis. Ini yang kita tekankan, jangan sampai timbul persepsi macam-macam akibat kedekatan guru dengan murid,” ujarnya.
Pihaknya meminta kepada para siswa untuk tidak segan-segan melapor jika merasa mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya. Baik itu berupa kekerasan verbal dan fisik, lebih-lebih kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru.
“Jangan takut melapor, nanti akan kita dampingi melalui guru BK yang memang sesuai tugas pokoknya mendampingi anak didik,” imbaunya.
Selain hal itu, pihaknya juga telah bekerjasama dengan Puskesmas setempat dan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Semarang untuk memberikan edukasi kepada anak didiknya mengenai perkembangan fisik dan psikisnya. Meski demikian, ia mengakui di era teknologi seperti saat ini sangat mustahil membendung rasa ingin tahu para siswa yang masuk pada fase remaja awal ini.
“Pada fase ini mereka enggan dibilang anak-anak, tapi belum nalar secara dewasa. Sehingga yang bisa kami lakukan adalah terus memberikan pemahaman, baik kepada anak didik maupun guru sebagai pendampingnya,” imbuhnya.
Senada dengan hal itu, Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Semarang Sukaton Purtomo Priyatmo menyampaikan pihaknya mewanti-wanti kepada para penyelenggara pendidikan untuk bisa melindungi anak didiknya dari segala bentuk tindak kekerasan.
“Baik itu kekerasan verbal, fisik, maupun kekerasan seksual. Jangan sampai peserta didik mendapat perlakuan kekerasan di luar kendali. Guru harus bisa melindungi siswanya,” ucapnya.
Terkait sanksi yang diterapkan kepada pelaku, Katon menambahkan bisa dijatuhi hukuman pemecatan dari statusnya sebagai seorang guru.
“Sudah kita pelajari, yang bersangkutan adalah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Saat ini sedang ditangani Polres Semarang, jika terbukti bersalah maka selain pidana juga bisa dipecat,” tegasnya. (win)