RASIKAFM.COM | UNGARAN – Dua buah gentong dengan ukuran cukup besar dan terbuat dari batu padas (andesit) tersimpan rapi dan terjaga di Masjid Syahidin, Desa Banyukuning, Bandungan, Kabupaten Semarang hingga sekarang. Gentong tua berdiameter masing-masing 50 dan 60 centimeter itu diperkirakan berasal dari abad 15 pada masa permulaan penyebaran agama islam di tanah Jawa.
Dulunya, gentong itu diduga dijadikan tempat untuk menampung air wudlu yang umumnya dinamakan padasan. Hal itu dibuktikan dengan adanya lubang kecil pada bagian bawah gentong sebagai jalur keluarnya air. Keduanya sudah terdaftar sebagai benda cagar budaya berdasarkan catatan Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Olahraga (Disdikbudpora) Kabupaten Semarang.
Berdasarkan penuturan takmir masjid Syahidin, Kuswanto (75), cerita hingga dibuat dua gentong, kala itu untuk melengkapi fasilitas masjid yang jamaahnya adalah pengikut Nyai Kuning, seorang tokoh penyebar agama Islam pertama di lereng gunung Ungaran tepatnya di kawasan Bandungan.
“Beliau merupakan Tumenggung dari kerajaan Mataram Yogyakarta yang ditugaskan gurunya untuk menyebarkan agam Islam di lokasi yang berdekatan dengan Candi Gedongsongo,” ujar Kuswanto, Selasa (18/6/2024).
Terkait dengan ukuran gentong yang berbeda, dijelaskan Kuswanto gentong berukuran lebih kecil dinamai Kiai Kuning diletakkan di sisi kanan teras masjid. Ceritanya, dulu dimanfaatkan untuk menampung air di bilik wudlu jamaah laki-laki. Sedangkan gentong berukuran lebih besar diletakkan di sisi kiri teras masjid dinamai Nyai Kuning.
“Fungsinya sama-sama untuk menampung air wudlu tapi khusus jamaah perempuan,” ujarnya.
Di samping kiri bangunan masjid terdapat lorong masuk ke pemakaman Nyai Kuning. Makamnya berada di dalam cungkup tertutup berbentuk seperti rumah, berdampingan dengan makam yang diyakini suaminya Kiai Kuning. Di samping bangunan cungkup terdapat dua makam tua yang diyakini merupakan pengikut Nyai Kuning. Kedua makam tua ini menarik perhatian karena nisannya berbeda dengan nisan lainnya. Memiliki ukiran menyerupai antefiks yang biasa dipakai pada panel penghias bangunan candi. Berukiran flora (tumbuhan) dengan sulur-sulur membetuk rangkaian bunga.
“Beberapa ahli sejarah pernah meneliti, nisan tersebut identik dengan nisan para raja dan pengikutnya masa Kerajaan Mataram,” sambungnya.
Kedua gentong tersebut sampai sekarang masih terawat dengan rapi tidak lepas dari kegigihkan warga setempat yang memegang teguh pesan dari Nyai Kuning agar melestarikan apa saja yang diwariskan. Tidak hanya peninggalan berupa benda namun juga ajaran agama serta budi pekerti yang penuh kearifan.
Kepercayaan tersebut menguatkan warga untuk mempertahankan kedua gentong tetap berada di masjid. Meski sudah masuk Cagar Budaya mereka tidak menginginkan peninggalan Nyai Kuning itu dimuseumkan. Kondisi masjid meski sudah dua kali mengalami renovasi, namun benda-benda yang ada di dalamnya tetap dirawat dan dijaga. (win)