SEMARANG – Terpidana mati kasus narkotika yakni Merri Utami kini sedang mencari keadilan dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) kedua atas putusan hukuman yang diterimanya. Sebab, Merri sudah menjalani hukuman penjara selama 20 tahun atau sejak awal November 2001.
Dalam proses pengajuan PK kedua, pihak Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mendatangi Lapas Perempuan Semarang pada Kamis (22/9/2022), untuk memberikan surat pengantar pengajuan PK. Merri sendiri, dipindahkan ke Lapas Perempuan dari Nusakambangan sejak November 2021.
“Minta surat pengantar ke Lapas Perempuan Semarang terkait dengan permohonan peninjauan kembali Merri yang kedua. Karena harapan kami Merri bisa disidang dimanan dia dapat datang secara langsung hingga pemberhentian hukumannya bisa maksimal,” ujar Tim Kuasa Hukum dari LBHM, Aisya Humaida saat dikonfirmasi, Jumat (23/9/2022).
Aisya menjelaskan, perjalanan kasus Merri berawal ketika tahun 2001 di Pengadilan Negeri Tangerang berujung vonis mati hingga tingkat kasasi vonisnya tidak berubah. Lalu pada 25 Juli 2016, dari Lapas Perempuan Tangerang, Merri dipindah ke sel isolasi Lapas Nusakambangan untuk menjalani eksekusi mati.
Akan tetapi, ketika berada di sel isolasi, Merri mendapatkan pemberitahuan putusan PK yang dikeluarkan Mahkamah Agung RI yakni masih sama vonis mati. Atas keputusan ini, Merri mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo namun tak kunjung ada kabar sampai Merri dipenjara puluhan tahun.
“Jadi PK kedua adalah memberikan ruang evaluasi untuk Merri bahwa hukuman penjara 20 tahun itu sudah cukup. Dan ini menjelang 21 tahun dimana kalau KUHP maksimal hukuman penjara 20 tahun,” paparnya.
“Kemudian paska 20 tahun ini apa keabsahan negara untuk melakukan penahanan kepada Merri Utami sementara hukuman mati adalah hukuman dan penjara adalah hukuman. Jadi telah banyak hukuman yang dijalani Merri,” jelasnya.
Aisya mengatakan, LBHM juga memberikan pernyataan sikap kepada negara yakni
1. Mendorong Mahkamah Agung Republik Indonesia cq. Pengadilan Negeri Tangerang berwenang mengadili dan memberikan pertimbangan substansi secara objektif berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 serta mengabulkan permohonan peninjauan kembali MU yang kedua.
2. Mendesak Kejaksaan Republik Indonesia cq. Kejaksaan Tinggi Banten cq. Kejaksaan Negeri Tangerang menggunakan Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana dalam memeriksa MU di hadapan persidangan peninjauan kembali yang kedua.
3. Meminta Kementerian Hukum dan HAM cq. Lapas Perempuan Semarang memberikan bantuan teknis dan substansi terhadap permohonan peninjauan kembali MU yang kedua.
Diketahui, Merri diklaim oleh pengadilan telah membawa 1,1 kilogram narkotika jenis heroin di dalam tasnya. Atas temuan ini, Merri diamankan pada 31 Oktober 2001 sekitar pukul 22.30 WIB di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.
Meski demikian Aisya mengaku bahwa Merri telah dijebak. Ia menerangkan, fakta yang diberikan oleh Merri adalah bahwa dirinya dibelikan tas oleh dua orang ketika berlibur di Nepal pada Oktober 2001.
Awalnya Merri berkenalan oleh seorang pria di Jakarta yang bernama Jerry. Kemudian, selang beberapa waktu tepatnya pada 16 Oktober 2001, Jerry mengakak Merri ke Nepal untuk liburan.
Setelah beberapa hari di Nepal, pada 20 Oktober 2001, Jerry kembali ke Jakarta untuk alasan bisnis. Disana, Jerry menelfon dan mengaku bahwa tas Merri jelek. Lalu Merri diminta Jerry ke tempat hiburan di Nepal untuk mengambil tas dari dua orang atas arahan Jerry.
Dengan memakai tas itu, kemudian Merri kembali ke Indonesia. Kemudian petugas melakukan penggeledahan terhadap barang-barang milik Merri dan diketemukan barang bukti narkotika jenis heroin di dalam tas tersebut.
“Merri dalam kasus ini adalah korban. Dia dijebak oleh orang yang baru ia kenal,” imbuhnya.