Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Edward Omar Sharif Hiariej menerangkan jika gratifikasi sebenarnya memiliki pengertian yang netral. namun bagi penyelenggara negara, gratifikasi dan suap kemudian memiliki perbedaan yang tipis. Untuk itu dirinya menegaskan perlu adanya pelaporan gratifikasi agar kemudian penyelenggara negara tidak terjerat pidana.
“Beda gratifikasi dan suap kalau bahasa anak mudanya beti, atau beda tipis. Untuk itu bagi yang menerima gratifikasi harus melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dan tidak boleh lebih dari 30 hari,” jelas Edward. “Maka ketika menduduki jabatan publik, penyelenggara negara tidak boleh lagi menerima apapun baik secara langsung, maupun tidak langsung,” pungkasnya.
Di sisi lain, Hendi selaku Wali Kota Semarang dalam kegiatan tersebut mengungkapkan bahwa gratifikasi merupakan sebuah budaya yang harus diubah dengan komitmen bersama. Salah satunya diperlukan contoh – contoh yang diberikan para pimpinan ke bawah, sehingga seluruh elemen dapat memiliki komitmen yang sama dalam pemberantasan korupsi.
“Maka menurut saya kita harus bersama – sama dalam memerangi korupsi. Tidak dapat hanya dibebankan kepada pemerintah, jangan hanya dibebankan pada KPK, atau aparat penegak hukun yang lain, tapi menjaga tanggung jawab seluruh warga bangsa,” tandas Hendi. “Untuk itu kami di Kota Semarang sendiri juga memaksimalkan kanal pelaporan lapor Hendi, sehingga masyarakat bisa aktif melaporkan bila menemukan hal – hal yang perlu penindakan secara tegas,” tegas Wali Kota Semarang itu.